(kajian tingkat lanjut tafsir surat Yusuf)
Tetapi pada prakteknya banyak kisah kisah yang sifatnya “israiliyat” beredar disekitar kita, bahkan di masyarakat Indonesia , selain kisah israiliyat juga berkembang mitos, seperti kalo orang yang hamil pingin anaknya seganteng nabi Yusuf maka sering seringlah baca surat Yusuf. he…he..pasti banyak yang mengangguk angguk ya…
bahkan banyak juga di seputar resepsi pernikahan, sang ustad mendoakan pasangan pengantinnya dengan doa seperti ini
اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا بِمَحَبَّتِكَ كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ آدَمَ وَحَوَّى وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا وَمُحَمَّدٍ وَخَدِيْجَةِ اْلكُبْرَى وَأَصْلِحْ جَمْعَهُمَا فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَهَبْ لَهُمَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَقُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْهُمَا مِنْ عِبَادِكَ النَّافِعِيْنَ عَلَى دِيْنِكَ وَلِمَصَالِحِ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
He..he..sampai disini yang sudah mempraktekannya ayo angkat tangan!
ternyata berdoapun harus jeli ya.
Yup.seratus! kita harus jeli ketika kita membaca literatur litarur teruatama yg berkaitan dengan kisah kisah, spesial buat kisah nabi yusuf ini kita memang sedari kecil terbiasa mendengar kisah tentang kisah indah tentang nabi yusuf, di mulai dari segi kegantengan nabi Yusuf yang di gambarkan keindahannya ibarat sepauh bulan purnama.hingga istri Qatifar yang agung (al Aziz) yang sebetulnya adalah ibu angkat Nabi yusuf ini menjebak nabi yusuf, hingga menyebabkan beliau di penjara.
Jika kisahnya hanya sampai di sini sebetulnya hampir tidak ada perbedaan,karena al quranpun menenrangkan hingga sampai di sini.
tetapi jika kemudian di bumbui dengan menikahnya Zulaikha dengan Nabi Yusuf, apalagi kemudian ada juga yang meriwayatkan bahwa kemudian Zulaikha menjadi muda kembali, wow…asyik bacanya ya..seru! tapi, kembali kita harus teliti akan kebenaran Riwayat tersebut.
palagi jika di dalam Alquran tidak disinggung sedikitpun tentang pernikahan antara Nabi Yusuf dan Zulaikha, bahkan Alquran menggambarkan bahwa Zulaikha adalah perempuan yang tidak baik, yang mendurhakai suaminya, serta menggoda Nabi Yusuf untuk melakukan perbuatan mesum. Pertanyaannya, “Benarkah Nabi Yusuf dan Zulaikha menikah, dan menjadi pasangan sejati, penuh cinta dan rahmat, serta langgeng ke anak cucu, sebagaimana yang diceritakan secara turun temurun?” Atau, “Apakah kisah ini hanya israliyat yang tidak berdasar?”
Agar pemahaman kita menyeluruh, ada baiknya jika kita memahami dahulu apa sebenarnya definisi israiliyat.
Definisi kisah Isra’iliyat
Riwayat isra’iliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Bani Isra’il atau bangsa Yahudi, dari kitab suci mereka, yakni Taurat, buku-buku penjelasannya, dari Talmud dan penjelasannya, kisah-kisah, dongeng, kurafat dan kisah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Terkadang, para peneliti mengaitkan kisah-kisah dan informasi yang berasal dari Nasrani (injil, surat-surat paulus, dan berbagai buku penjelasannya) termasuk dalam riwayat isra’iliyat.
Banyak riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan posisi umat Islam ketika berhadapan dengan riwayat-riwayat isra’iliyat; ada yang melarang, membolehkan dan tidak melarang sekaligus tidak membolehkan. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah, Nabi Saw bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
“Sampaikan dariku walau satu ayat. Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan. Siapa berdusta dengan sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
Hadis pembolehan seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis, diantaranya Shahih al-Bukhari dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan at-Tirmidzi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, Sunan ad-Darimi dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh, dan Musnad Imam Ahmad dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh dan Abû Sa`îd al-Khudri, serta Shahih Ibnu Hibban dari Abdullâh bin Amr bin `Âsh.
Sedangkan hadis yang melarang adalah:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ
جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِِِِ.
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli Kitab, lalu Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum dengan buku ini wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman-Nya, sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang terang lagi murni. Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab, sehingga mereka mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai atau mereka kabarkan yang batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika Nabi Musa as hidup sekarang, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad).
Hadis yang ketiga adalah hadis yang tidak membolehkan tidak pula melarang periwayatan isra’iliyat. Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} الْآيَةَ.
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
Tiga riwayat di atas seolah bertentangan, namun jika ditelusuri lebih dalam, sama sekali tidak ada pertentangan di antara tiga riwayat tersebut.
Hukum Meriwayatkan Israiliyat
Dalam menanggapi tiga riwayat yang seolah bertentangan di atas, ulama tafsir mengklasifikasikan riwayat-riwayat isra’iliyat menjadi tiga kelompok.
Pertama, riwayat-riwayat isra’iliyat yang bertentang dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini haram diriwayatkan jika tidak menjelaskan kebatilannya. Inilah yang dimaksud dalam larang Nabi pada hadis Umar bin al-Khaththab di atas. Diantara contoh riwayat seperti ini adalah kisah Nabi Sulaiman. Pada suatu saat Nabi Sulaiman ingin ke kamar mandi, dan menitipkan cincinnya kepada salah satu istrinya. Iblis pun menyerupai Nabi Sulaiman, lalu datang kepada istrinya dan meminta cincin yang dititipkan oleh Nabi Sulaiman. Istrinya menyangka yang datang adalah Nabi Sulaiman, dan memberi cincin tersebut. Dengan cincin itu, Iblis menguasai kerajaan Nabi Sulaiman dan memerintah dengan sesuka hatinya dan zalim.
Ketika keluar dari kamar mandi, Nabi Sulaiman yang asli datang kepada istrinya untuk meminta cincin yang telah dititipkannya. Istrinya mengatakan, “Bukankah cincin tersebut telah kuberikan kepada Sulaiman!” Nabi Sulaiman yang asli pun terdiam dan hanya bisa pasrah. Sedangkan Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman terus menguasai kerajaan dengan zalim, sampai pada akhirnya istri Nabi Sulaiman curiga karena Iblis yang menyamar menjadi Sulaiman tersebut menggauli istrinya dalam keadaan haidh, sedangkan Nabi Sulaiman yang asli tidak pernah menggauli istrinya dalam kaeadaan demikian.
Tidak diragukan lagi bahwa kisah ini jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah, sehingga tidak sedikit pun dari riwayat ini dapat dijadikan hujjah. Bahkan harus dijauhkan dari kitab-kitab keislaman.
Kedua, riwayat-riwayat isra’iliyat yang sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, karena hadis pembolehan dari hadis Nabi di atas, “Ceritakanlah dari Bani isra’il, dan tidak ada larangan.” Banyak kasus bahwa para sahabat menerima dan membenarkan cerita Ahli Kitab yang sesuai dengan Alquran atau sunnah, walaupun kebenaran itu hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran terhadap ayat Alquran atau hadis tersebut.
Pada suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Ali bin Abi Thalib, Ali pun bertanya, “Di mana neraka?” Orang Yahudi tersebut menjawab, “Di laut.” Lalu Ali berkomentar terhadap jawaban tersebut, “Jawabannya benar, karena Allah berfirman, “Dan apabila lautan dipanaskan.” (QS. At-Takwir [81]: 6). Ali membenarkan jawaban orang Yahudi tersebut walaupun hanya satu dari beberapa kemungkinan penafsiran dari ayat itu.
Ketiga, riwayat isra’iliyat yang tidak bertentangan dengan ayat Alquran atau sunnah, serta tidak pula sesuai dengan Alquran dan sunnah. Riwayat seperti ini boleh diriwayatkan, walaupun tidak menerangkan keisra’iliyatannya. Inilah yang dimaksud dari hadis nabi:
“Dari Abi Hurairah ra, dia berkata, “Ahlu Kitab membacakan Taurat dengan bahasa `Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam.” Lalu Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustai. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami.” (HR. al-Bukhari).
menurut Ustad Muhammad Arifin Jahari seorang ustad lulusan Tafsir Ilmu alquran dari Al Ahzar Univercity.cairo mesir, bahwa Alquran tidak menyebutkan nama Zulaikha atau nama yang lain. Alquran hanya menyebut “istri al-Aziz.” Allah berfirman:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf [12]: 30).
Muhammad Rasyid Ridha, dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa Alquran tidak menyebutkan sama sekali nama istri al-Aziz bahkan nama al-Aziz itu sendiri. Alquran sama sekali tidak mementingkan nama tersebut, karena Alquran bukan kitab sejarah. Tujuan pengkisahan dalam Alquran, bukan untuk mengungkap fakta sejarah, namun untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah yang dapat diambil dan diteladani dalam kehidupan. Jadi nama seperti ini tidak perlu disebutkan.Ibnu Katsier menyebutkan nama Zulaikha, namun beliau juga hanya menggunakan istilah ’qiila’, konon. Namun, beliau juga mengatakan perihal, ”Kebanyakan penafsir dalam hal ini mengambil kitab-kitabnya ahli kitab, fal i’radh ’anhu aula (sedangkan berpaling darinya itu lebih utama). Demikian beliau sebutkan dalam kitabnya Qishash al-Anbiya’, tatkala mengisahkan tentang Nabi Yusuf AS.
Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha
Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meningga dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz, Ra’il. Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu”. Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu, ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye). Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.
Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, dll.
Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.
Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih, yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan; kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”
Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’ ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk membawa Zulaikha’ ke hadapannya. Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah. Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan. Lalu dia shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.
Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih.
Walau Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar.
Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja. Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.
Semoga bisa memberikan pencerahan ya…
http://seberkascahyarembulan.wordpress.com/2013/02/23/menyingkap-kebenaran-kisah-cinta-zulaikha-dan-nabi-yusuf-as-kajian-tingkat-lanjut-tafsir-surat-yusuf/
Sekilas Tentang Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq) serta Riwayat yang Ia Bawakan dalam Hadits dan Sirah
Muhammad bin Ishaq atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H) merupakan salah satu murid dari Az-Zuhri. Selain penulis kitab Sirah, ia pun dikenal sebagai penulis kitab Maghazi (kisah-kisah peperangan).
Kitab Sirah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq yang sampai pada kita adalah berjudul Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan mukhtashar/ringkasan dari Sirah Ibnu Ishaq.
Menurut para ulama muhaqqiq, riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Sirah Ibnu Ishaq, berisi hadits-hadits hasan yang bercampur dengan hadits-hadits dla’if. Riwayat-riwayat yang ia bawakan tidaklah sampai pada derajat shahih, namun hanya sampai pada derajat hasan saja dengan syarat ia menyatakan secara terang (sharih) penyimakan haditsnya [1]karena ia seorang perawi mudallis.
Ibnu ‘Ady berkata :
وقد فتشت أحاديثه فلم أجد في أحاديثيه ما يتهيأ أن يقطع عليه بالضعف، وربما أخطأ أو يهم، كما يخطيء غيره، ولم يتخلف في الرواية عنه الثقات والأئمة وهو لا بأس به
”Saya telah meneliti hadits-haditsnya, dan saya tidak melihat ada hadits-hadits yang pasti kedla’ifannya. Terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh orang lain; selama tidak ada penyelisihan riwayat darinya dari kalangan perawi yang terpercaya dan para imam, maka riwayatnya tidak masalah (dapat diterima)”.
Hal ini adalah kesaksian yang sangat penting. Bukan karena kedudukan dan sikap keras Ibnu ‘Ady dalam pen-tausiq-an ini saja, tetapi hal itu berdasarkan pada proses pengujian riwayat. Bukan sekedar penukilan perkataan para ahli naqd sebelumnya yang menuduh Ibnu Ishaq seputar masalah qadar (yaitu fitnah Qadariyyah), tasyayu’ (kecenderungan pada pemikiran Syi’ah), tadlis,[2]dan tashhif (salah tulis). Hal itu sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Yahya bin Sa’id Al-Umawi :
ابن إسحاق يصحف في الأسماء لأنه إنما أخذها من الديوان
”Ibnu Ishaq sering melakukan tahshhif (kesalahan dalam penulisan) tentang nama-nama karena ia mengambilnya dari kitab-kitab diwan”. [3]
Bahkan ia pernah dituduh melakukan kebohongan terhadap sebuah riwayat dari Fathimah istri Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak terbukti. Beberapa imam yang menyanggah kecurigaan yang dilontarkan oleh para kritikus tersebut terhadap Ibnu Ishaq, diantaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
لا ريب أن ابن إسحق كثَّر وطوَّل بأنساب مستوفاة، اختصارها أملح، وبأشعار غير طائلة حذفها أرجح، وبأثار لم تصحح، مع أنه فاته شيء كثير من الصحيح لم يكن عنده، فكتابه محتاج إلى تنقيح وتصحيح ورواية ما فاته
”Tidak ragu lagi bahwa Ibnu Ishaq itu sering memperbanyak dan memperpanjang silsilah-silsilah nasab para perawi yang sebenarnya tidak perlu, menyisipkan syair-syair pendek yang seharusnya dibuang, dan menyebutkan atsar-atsar yang tidak shahih. Namun di sisi lain, ia melewatkan banyak hal dari riwayat-riwayat shahih yang tidak ada padanya. Jadi, kitabnya perlu diteliti kembali, dan riwayat-riwayatnya harus di-tashhih lagi”.[4]
Beliau berkata lagi :
ابن إسحق حجة في المغازي وله مناكير وعجائب
”Ibnu Ishaq adalah hujjah bagi karya Maghazi. Akan tetapi ia punya kelebihan dan kekurangan”.[5]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi telah berusaha keras untuk menerangkan tingkatan hadits Ibnu Ishaq. Ia pun mengatakan :
وله ارتفاع بحسبه، ولا سيما في السيرة، وإما في أحاديث الأحكام فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة، إلا فيما شذّ فيه فإنه يعد منكرا
”Hadits-haditsnya tentang sirah cukup bagus. Sementara hadits-haditsnya tentang hukum berada di bawah tingkatan hadits shahih. Kecuali hadits yang terdapat keganjilan (syadz) di dalamnya, maka ia dihitung sebagai hadits munkar”.[6]
Al-Hafidh Al-‘Iraqi mengatakan :
المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima”.[7]
Al-Hafidh Adz-Dzahabi mengatakan :
والذي يظهر لي أن ابن إسحق حسن الحديث صالح الحال صدوق، وما تفرّد ففيه نكارة، فإن في حفظه شيئا، وقد احتج به الأئمة
”Dan yang jelas menurut saya, Ibnu Ishaq adalah hasanul-hadits, perilakunya baik, dan jujur (shaduq). Dan apa-apa yang ia bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), maka terdapat pengingkaran di dalamnya. Meskipun ada sedikit masalah dalam hafalannya, namun para ulama menjadikannya sebagai hujjah”.[8]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
كان أحد أوعية العلم حبرا في معرفة المغازي والسيرة، وليس بذلك المتقن، فانحط حديثه عن رتبة الصحة، وهو صدوق في نفسه مرضي
”Ibnu Ishaq adalah salah seorang yang sangat menguasai riwayat-riwayat tentang peperangan-peperangan dan sirah. Sayang ia tidak mutqin (teliti) sehingga peringkat haditsnya di bawah tingkat shahih. Ia adalah orang yang sangat jujur terhadap dirinya sendiri dan disukai”.[9]
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث....وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
”Selama ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan penyimakan haditsnya........ Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya”.[10]
Ini tidak berarti menguatkan semua riwayatnya yang terdapat dalam kitabnya tentang sirah. Ada beberapa riwayat di dalamnya riwayat-riwayat munkar danmunqathi’. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata :
صالح الحديث ما له عندي ذنب إلا ما قد حشاه في السيرة من الأشياء المنكرة والمنقطعة
”Shaalihul-hadiits. Tidak ada padanya satu cacat menurutku, kecuali apa-apa yang telah ia masukkan dalam sirah riwayat-riwayat munkar dan munqathi’ .[11]
Al-Hafidh Ibnu Hajar telah berhasil men-takhrij hadits-hadits munqathi’ dalam Sirah Ibnu Hisyampada sebuah catatan tersendiri. Sayang sekali, catatan itu hilang.[12]
Para perawi sirah yang biasa meriwayatkan dari Ibnu Ishaq adalah :
a. Ziyad bin Abdillah Al-Baka’i.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari jalur sanadnya.
b. Bakr bin Sulaiman.
Khalifah bin Khayyath meriwayatkan dari jalur sanadnya dalam kitabnya At-Tarikh.
c. Salmah bin Al-Fadhl Al-Abrasy.
Mengomentari Ath-Thabari berkomentar tentangnya :
ليس من لدن بغداد إلى إن يبلغ خراسان إثبت في ابن إسحق من سلمة بن الفضل
”Mulai dari Baghdad hingga ujung Khurasan, tidak ada orang yang paling memahami Ibnu Ishaq dengan baik selain Salmah bin Al-Fadhl”.[13]
d. Yunus bin Bakir (wafat tahun 195 H).
Menurut Ibnu Hajar, ia adalah seorang perawi yang jujur (shaduuq), tetapi sering melakukan kesalahan.[14]Menurut Adz-Dzahabi, Yunus adalah orang yang hasan haditsnya (hasanul-hadits). Imam Muslim mengetengahkan riwayat-riwayatnya dalam syawaahid, bukan dalam ushul. Demikian pula yang dilakukan oleh Al-Bukhari.[15] Sementara itu, secara tegas Abu Dawud As-Sijistani mengatakan bahwa Yunus bin Bakir bukanlah hujjah. Ia hanya mengambil ucapan Ibnu Ishaq, yang kemudian ia sambungkan begitu saja dengan hadits-hadits.[16]
e. Ibrahim bin Sa’d Az-Zuhri (wafat tahun 185 H).
Ahmad bin Muhammad bin Ayyub – pengarang kitab Al-Maghaaziy - meriwayatkan dari jalur sanadnya. Dan itu adalah riwayat yang biasa dijadikan perantara oleh Al-Hakim An-Naisabury untuk mengutip dalam Al-Mustadrak.[17]
f. Harun bin Abi ‘Isa, yang riwayatnya dijadikan pegangan oleh Ibnu Sa’ad.
g. Abdullah bin Idris Al-Audi.
Ibnu Sa’ad juga biasa meriwayatkan darinya.
h. Yahya bin Sa’ad Al-Umawi, yang berhasil menulis kitab tentang Maghazi setelah banyak mendengar dari Ibnu Ishaq, dan ia juga memberikan keterangan-keterangan tambahan.[18]
Terdapat beberapa perbedaan di antara riwayat-riwayat tentang sirah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Ishaq selama beberapa waktu pernah melakukan pembetulan atau perbaikan pada kitab sirahnya.
Nampak jelas bahwa riwayat Yunus bin Bakir adalah riwayat yang paling dahulu, dan bahwa Al-Baka’i membawa naskah yang pernah dibetulkan dan diperbaiki oleh Ibnu Ishaq. Sebagai contoh, adanya perbedaan riwayat tersebut bahwa dalam riwayat Al-Baka’i, Ibnu Ishaq menyebutkan nama Abdullah bin Mas’ud dalam rombongan hijrah ke Habasyah yang kedua.[19]Sementara dalam riwayat Yunus bin Bakir, nama Abdullan bin Mas’ud disebut-sebut dalam rombongan ke Habasyah yang pertama.[20]
Contoh lain, disebutkan dalam riwayat Al-Baka’i bahwa Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang berbicara kepada An-Najasyi atas nama kaum muslimin. Akan tetapi dalam riwayat Yunus bin Bakir disebutkan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan lah yang berbicara kepada An-Najasyi, sementara Ja’far bin Abi Thalib hanya sebagai penerjemah saja. Akan tetapi, Ibnu Ishaq tetap mengomentari riwayat ini dengan berbagai alasan dalam rangka menafikkan kebenarannya.[21]
Contoh yang lain lagi, adalah apa yang dituturkan sendiri oleh Ibnu Ishaq dalam riwayat Yunus bin Bakir bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika rajin mengirimi surat kepada para penguasa di muka bumi, beliau juga tidak ketinggalan mengirimkan sepucuk surat kepada An-Najasyi Al-Ashham yang berisi ajakan agar ia bersedia masuk Islam.[22] Sementara dalam riwayat Al-Baka’i, tidak disinggung-singgung nama Al-Ashham.[23]Hal itu membuktikan bahwa Ibnu Ishaq telah mengadakan perbaikan atau pembetulan pada sirahnya. Disebabkan pada saat itu An-Najasyi Al-Ashham sudah masuk Islam. Jadi surat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tadi pasti ditujukan kepada An-Najasyi generasi yang berikutnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Imam Muslim.[24]
Kesimpulannya : Ibnu Ishaq adalah perawi mudallis yang kedudukannya tidak sampai pada tingkat shahih. Haditsnya diterima dan berkedudukan pada tingkatan hadits hasan jika ia tidak bersendirian dan menegaskan tentang penyimakannya terhadap hadits yang ia terima.
Wallaahu a’lam.
[1] Yaitu dengan perkataan tegas yang menunjukkan kebersambungan sanad : haddatsanaa (telah menceritakan kepada kami), akhbaranaa (telah mengkhabarkan kepada kami), dan yang sejenisnya.
[2] Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 7/139.
[3] Tashhiifaatul-Muhadditsiin oleh ‘Askariy 1/26.
[4] Idem, 6/116
[5] Al-‘Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffar hal. 39
[6] Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 7/141
[7] Tharhut-Tatsrib Syarah At-Taqrib oleh Al-‘Iraqi, 8/72
[8] Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi, 3/475
[9] Tadzkiratul-Huffadh oleh Adz-Dzahabi, 1/173
[11] Mizaanul-I’tidal oleh Adz-Dzahabi 11/469
[13] Tahdzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar 4/154
[14] Tahdzibut-Tahdzib 2/384 dan Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 9/340
[17] Al-Mustadrak oleh Al-Hakim 3/128
[18] Tarikh Baghdad oleh Al-Khathib 14/133
[24] Shahih Muslim 3/1397.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/12/sekilas-tentang-muhammad-bin-ishaq-ibnu.html
WAHB BIN MUNABIH AL YAMANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar