Kamis, 01 Maret 2012

JAMPERSAL BOYOLALI


Dari target 15.000 kelahiran bayi yang ditanggung dengan jaminan persalinan (Jampersal) di Boyolali, hingga kini baru terealisasi sekitar 16 persen. Minimnya serapan Jampersal, selain lambatnya petunjuk teknis turun dari pusat, juga karena sulitnya dana alokasi Jampersal cair. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Boyolali, dr. Syamsudin, mengatakan, hal tersebut akan dievaluasi karena serapan Jampersal baru 16 persen dari target. Dijelaskan, selain keterlambatan petunjuk dan dana dari pusat, Dinkes juga memerlukan sosialisasi ke masyarakat melalui Puskesmas dan jejaring di bawahnya. Selain itu, untuk menaikkan realisasi Jampersal, Dinkes juga membuka akses seluas-luasnya kepada ibu hamil untuk mengikuti program persalinan gratis itu. Syarat mengikuti dipermudah, yaitu cukup menyatakan secara lisan sudah dapat mengakses Jampersal dengan catatan belum dijamin asuransi kesehatan lain.
Lebih lanjut, untuk rumah sakit pemerintah, Puskesmas, serta bidan-bidan desa tidak perlu membuat kerja sama dengan Dinkes. Namun kerja sama Jampersal tetap wajib dilakukan oleh rumah sakit swasta, poliklinik serta bidan swasta. Hal itu agar tidak ada share cost pada rumah sakit swasta karena perbedaan biaya. adapun total dana Jampersal sendiri mencapai 2,1 miliar rupiah. Dana itu untuk melayani proses kelahiran 15.000 ibu hamil normal. namun jika prosees kelahiran tidak normal, akan dirujuk ke rumah sakit dan berapa pun biayanya akan ditnggung sesuai standar kelas III.



Sementara itu, sebagian masyarakat memang sudah mengerti dan memanfaatkan program Jampersal. Di Puskesmas Simo misalnya, selama dua bulan sejak program Jampersal diluncurkan Juli lalu, puluhan orang sudah memanfaatkan program itu dengan syarat cukup membawa KTP, buku KIA (periksa hamil), patrograf (observasi persalinan), serta membuat pernyataan ikut KB. Meski demikian, kendala realisasi Jampersal juga disebabkan keengganan bidan swasta menjalin kerja sama dengan Dinkes karena biaya Jampersal yang totalnya dipatok Rp 410.000 per persalinan dinilai terlalu sedikit dan tidak menguntungkan.-JS-




(Feb 2012)

http://www.boyolalikab.go.id/index.php?brt=detail&id=1056 



Dewan Protes Pemaksaan KB Pasien Jampersal


Sabtu, 08 /10/ 2011 08:37

Pasien Jampersal yang dipaksa menggunakan alat kontrasepsi spiral.(F:Hardiyansyah)
Pasien Jampersal yang dipaksa menggunakan alat kontrasepsi spiral.(F:Hardiyansyah)
JAMBI - Pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi KB terhadap pasien yang menggunakan Kartu Jaminan Persalinan (Jampersal) di RSUD Raden Mataher sangat disayangkan banyak pihak. Disampaikan Anggota Komisi D DPRD Kota Jambi Anty Yosefa dirinya sangat menyayangkan adanya perlakuan pihak RSUD RM terhadap pasien yang menggunakan aturan tersebut. “Tentu kita sangat menyesalkan,“ ucap Anty Yosefa. Anty Yosefa mengatakan, program Jampersal bukan merupakan program pusat dan tidak ada syarat seperti itu yang mewajibkan pasien untuk menggunakan alat kontrasepsi. “Kita sangat menyesalkan kenapa sampai ada syarat seperti itu, pusat aja tak ada syarat seperti itu,” tegasnya.

Dia mengatakan pernah mendapat penjelasan dari pihak asuransi, dimana program tersebut berlaku untuk semua perempuan yang akan melahirkan. Biaya ditanggung Jampersal dengan tidak ada syarat yang sampai seperti itu. “Setahu saya tak ada syarat seperti itu, itu sangat tak benar,” tukasnya. Ungkapan yang sama juga disampaikan Maria Magdalena juga dari Komisi D DPRD Kota Jambi. Maria juga sangat menyayangkan adanya perlakuan terhadap pasien tersebut. “Tentu sangat kita sayangkan,” ucap Maria. Dikatakan Maria, mana mungkin ada program yang sampai mewajibkan untuk memasang alat kontrasepsi, apalagi dilakukan terhadap ibu yang baru  melahirkan anak pertama.

Sementara itu perlakuan berbeda ditunjukan RS H Abdul Manap. Di sana tidak pernah mewajibkan pasien Jampersal untuk memasang alat kontrasepsi bagi perempuan yang baru melahirkan. Disampaikan bidan Lisa, RS Abdul Manap tak pernah mewajibkan pasien yang memasang alat kontrasespi ketika habis melahirkan meskipun menggunakan Jampersal. “Kita tak ada mewajibkan pemasangan alat kontrasepsi,” ucap Bidan Lisa. Menurut dia pihaknya hanya sebatas menyarankan, dan bila pasien tidak mau itu merupakan hak pasien dan tak mungkin dipaksakan. Dan pihaknya akan tetap mengurus Jampersal pasien tersebut. Ketika ditanyakan apa saja persyaratan untuk persalinan menggunakan Jampersal? Dia mengatakan syaratnya sangat mudah, yaitu hanya dengan melampirkan Fhoto Copy KK, KTP, buku KIA, Fatograf dari Puskesmas dan menurutnya tak ada syarat khusus bagi pasien.

Sementara itu Iskandar Nasution, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kota Jambi ketika ditanyakan apakah pemasangan alat kontrasepsi merupakan kewajiban bagi perempuan yang bersaling menggunakan proram Jampersal? Dia mengatakan tidak mengetahui secara pasti “Saya tak tahu karena belum ada petunjuk teknis dari Dinas Kesehatan,” ucap Iskandar Nasution. Dan dia mengatakan belum bisa mengomentari karena belum ada petunjuk jelas mengenai hal tersebut. “Nanti saya bilang wajib, dari Dinas Ksehatan ternyata tak seperti itu,” pungkasnya.

http://metrojambi.com/headline/13980-dewan-protes-pemaksaan-kb-pasien-jampersal.html

MIMPI INDAH JAMINAN KESEHATAN TANPA KELAS

Pada tataran ideal sepertinya sangat mudah bagi masyarakat untuk dapat me nikmati dan merasakan hak-hak atas kese hatan, namun persoalannya memang  selalu dalam  tahapan  pengimplementasiannya,
ba gaimana  misalnya  warga  masyarakat yang digolongkan oleh pemerintah/pemerintah daerah sebagai kelompok kelas tiga, dapat  menggunakan haknya untuk mendapatkan perawatan  inap,  jika di RSUD  (Rumah  Sakit  Umum  Daerah)  yang memiliki 233 tempat tidur, tidak dapat menerimanya hanya karena 83 tempat tidur yang tersedia untuk  kelas  tiga  sudah  penuh.Memang akhir-akhir ini ada pula kebijakan yang meng atur bahwa jika kelas tiga penuh, maka ke lompok masyarakat  kelas  tiga  tersebut dapat untuk sementara waktu ditempatkan naik ke kelas dua, namun sesungguhnya bukan seperti itu solusinya, bagaimana jika ternyata kelas dua itupun penuh, apakah bisa masyarakat  kelas  tiga  itu  ditempatkan  di
kelas satu atau VIP.

Ada alasan klasik yang masih coba diar gumentasikan, bahwa rumah sakit pemerintah juga memerlukan pendapatan untuk me nutupi  biaya  operasionalnya  karena  harus melaksanakan  fungsi  sosialnya. Dulu  saat pe merintah tidak menganggarkan dana kesehatan sebesar sekarang yaitu kurang lebih 28  triliun  atau  setara  dengan  2,3%  dana APBN t.a. 2011 (jumlah inipun seharusnya masih  bisa  lebih  besar),  alasan  ter sebut masih bisa dipaksakan masuk di akal, tetapi sekarang alasan bahwa rumah sakit pemerintah memerlukan  pendapatan  sehingga perlu untuk mempertahankan dan menggolongkan kelas-kelas, menjadi suatu alasan yang memperlihatkan  adanya  ketidakwarasan atau mungkin kebodohan yang disengaja dengan maksud tertentu. RSUD dan RSUPP pada prinsipnya adalah badan layanan publik yang memang dibuat untuk tidak mencari pendapatan.

Mengingat amanat pasal 28H ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945, yang pada intinya mengatur bahwa  setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan dan berhak untuk memperoleh  kesempatan  dan  manfaat  yang
sama guna mencapai persamaan dan ke adilan, maka dalam rangka memenuhi perintah pasal 34 ayat (3) UUD 1945, Pemerintah dan  Pemerintah  Daerah  secara  bertanggung jawab harus menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang sama, tidak mem  beda-bedakan, tidak mengelompokan masyarakat miskin  sebagai masyarakat  yang hanya  berhak  atas  pelayanan  kelas  tiga.

Bagi  rumah  sakit  non  pemerintah sesungguhnya pemerintah pun dapat mendorong memaksimalkan fungsi sosialnya, misalnya dengan menaikan batas kelas tiga dari 25% menjadi 50% dari seluruh jumlah tempat tidur yang tersedia pada rumah sakit non pemerintah tersebut. Lebih lanjut Pasal 2 Undang-Undang No.
44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit  sudah secara tegas mengatur bahwa “Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai  fungsi  sosial”.

Sampai  bulan  Desember  2010,  terdapat 8.967 Puskesmas dengan 22.273 Puskesmas pembantu,  serta  32.887  Poskesdes  dan 266.827 Posyandu. Puskesmas pada prinsipnya didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan  dasar,  menyeluruh,  paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok (public health essential) yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, yang notabene saat ini masih harus dibilang sangat rendah.
Berdasarkan perhitungan UNDP (United Nation Development Program) dengan menggunakan  Indeks  Pembangunan  Manusia (IPM) / Human Deve lop ment Index (HDI) sebagai instrumen pengukuran perbandingan dari  harapan hidup (hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan
hidup saat kelahiran),  melek huruf,  pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia, menunjukkan bahwa IPM Indonesia masih berada di daftar 10 negara terendah se-Asia Timur dan Paciļ¬c atau pering kat 108 dari 169 negara di dunia. Peringkat yang buruk, terlebih mengingat Anggaran Belanja Negara Indonesia yang mencapai Rp1.229.558.465.306.000,00 (satu kuadriliun dua ratus dua puluh sembilan triliun lima ratus lima puluh delapan miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus enam
ribu  rupiah)  adalah  anggaran belanja negara terbesar keenam belas di dunia. Peme rintah telah tidak sungguh-sungguh memanfaatkan dan memaksimalkan anggaran untuk bidang kesehatan yang besarnya
sudah mencapai lebih kurang 28 triliun atau sekitar 2,3% dari total anggaran belanja tersebut.

Penyerapan  anggaran  kesehatan  yang tidak maksimal sangat terlihat dengan adanya sisa anggaran yang sangat spektakular, sebagai  contoh  berdasarkan  Laporan  kegiatan   pelayanan rujukan keluarga miskin
di Kota Bogor tahun 2011 yang disampaikan pada  pertemuan  koordinasi  Jamkesmas tahun 2011 pada tanggal 9 Februari 2011, diketahui bahwa anggaran Jamkesmas untuk Kota Bogor yang bersumber dari APBN sebesar Rp24.222.218.000,- hanya dapat terserap Rp10.750.443.685,- dan sisanya adalah
Rp13.471.774.315,-. Fakta yang sangat ironis, karena sebagaimana juga dikemukakan dalam laporan tersebut bahwa pelaksanaan Jamkesmas itu ternyata terkendala dengan beberapa permasalahan diantaranya, adanya penolakan pasien jamkesmas dengan alasan  tempat  penuh;  pasien  jamkesmas
bila dirawat di ruang ICU harus membayar uang muka terlebih dahulu;  masih ada  tagihan bagi pasien yang masuk ke rawat inap sbg kelanjutan rawat jalan/ UGD ditagihkan dengan  jenis  pelayanan  rawat  inap  dan rawat jalan padahal seharusnya hanya dengan 1 (satu) kode INA DRG; belum lagi beberapa RS masih keberatan dengan tarif INA DRG (SKTM); Permasalahan tersebut jelas melukiskan betapa buruknya implementasi dan kinerja para pelayan masyarakat baik di tingkat pusat  maupun  di  kota  bogor  sendiri  yang hingga  kini  seolah  tidak peduli dan  tidak berniat menjalankan  amanat undang-undang untuk mendirikan RSUD. Keberadaan RSUD  yang  pro  rakyat  tanpa  kelas  sudah dapat dipastikan  akan  sangat membantu mengurangi permasalahan-permasalahan terkait pemanfaatan dan penyerapan anggaran belanja kesehatan. Jadi jangankan bicara perintah undang-undang UU 36/2009 tentang Kesehatan yang mewajibkan bahwa anggaran kesehatan harus 5% dari APBN dan 10% dari APBD, untuk saat  ini yang be lum mencapai 50%nya saja sudah kacau balau.
Tanpa  bermaksud  mengatakan  bahwa apa yang telah dikerjakan oleh para pelayan masyarakat  ini  tidak  bernilai  sama  sekali, upaya-upaya mereka sudah ada namun jelas masih setengah-setengah. Apapun programnya  termasuk  yang  diklaim  sebagai program unggulan untuk tahun 2012, yakni peningkatan anggaran untuk jaminan persalinan sebesar Rp 1,55 triliun, jaminan kesehatan masyarakat sebesar Rp 5,9 triliun dan Bantuan Operasional Kesehatan  (BOK) sebesar Rp1,03 triliun, sudah pasti akan tidak
termanfaatkan secara maksimal dan tidak sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat, jika pemerintah tidak segera merubah logika  kebijakannya menjadi  sepenuhnya pro rakyat.

Kitab undang-undang Hukum Pidana juga sudah mengatur bahwa  barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam  keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang ber laku
baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi  kehidupan,  perawatan  atau  pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan  bulan  atau  pidana  denda  paling banyak empat ribu  lima ratus rupiah. Dan jika  salah  satu perbuatan  tersebut mengakibatkan luka luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh  tahun  enam  bulan,  sedangkan  jika mengakibatkan kematian maka diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.

bogorplus.com/tabloid-bogorplus.html?download=18%3Atabloid...

JAMPERSAL merupakan program Jaminan Persalinan yang digulirkan pemerintah pada tahun 2011. Program ini diberikan secara gratis untuk para ibu yang sedang hamil sampai proses persalinan terkecuali para ibu yang  sudah memiliki asuransi  swasta. Tak tanggung-tanggung, untuk membantu ibu hamil dan proses persalinannya pemerintah  menyiapkan  anggaran  sebesar Rp1.895.714.394.000,-.
Untuk  Kabupaten  Bogor  sendiri,  dana program  Jaminan  Persalinan  (Jampersal) terbesar di seluruh Indonesia dengan jumlah anggaran sebesar Rp19.008.062.000,-  .Jum lah tersebut merupakan tertinggi tingkat kota/Kabupaten se Indonesia,.

Dana klaim yang bisa dilakukan dengan menggunakan  Jampersal  untuk  bidan swasta sebesar Rp600.000,-. Sedangkan untuk bidan pemerintah akan diklaim sebesar Rp300.000,-. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar