Sabtu, 20 Agustus 2011

Prinsip MTA

“Beda Boleh,Putus Silaturahmi Jangan”

Rubrik Opini harian ini edisi 5 April 2011 memuat tulisan Said Agil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar NU, berjudul Menyikapi Kegarangan Puritanisme. Artikel tersebut ternyata berisi “fitnah” terhadap Majlis Tafsir AlQur’an (MTA). Oleh karena itu, MTA perlu menanggapi karena tulisan tersebut dapat mencitrakan MTA secara keliru.
Majlis Tafsir Al-Qur’an Surakarta adalah lembaga dakwah Islamiyah, didirikan oleh Ustad Abdullah Thufail Saputra (1927-1992) pada 19 September 1972. Ustad Abdullah Thufail adalah murid ulama dari Yaman. Dimasanya, beliau adalah mubalig terkenal di Solo dan sekitarnya. Pada saat menghadapai terror dari sisa-sisa G30S/PKI pada 1966, beliau terpilih menjadi ketua KKPI (Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam) yang dibentuk oleh tujuh ormas pemuda Islam Surakarta waktu itu.
Meninggalkan Bid’ah
Tekanan pada pengamalan Al Qur’an dan As-Sunnah menjadikan siswa/peserta MTA meninggalkan amal-amal yang tidak ada dasarnya dalam Al Qur’an maupun As-Sunnah. Walaupun ada hadistnya, apabila hadist tersebut daif, amal itu ditinggalkan. Misalnya, membaca Yassin pada malam jum’at karena ternyata semua hadist yang menjadai dasar adalah daif. Tahlilan yang dilakukan pada saat orang meninggal dan peringatan hari kematian juga begitu. Banyak amal lain yang oleh gerakan kembali ke Al Qur’an dan As-Sunnah dipandang sebagai “laisa minal islam, takhayul, bid’ah dan khurafat” ditinggalkan.
Gerakan kembali ke Al Qur’an dan As-sunnah yang meninggalkan amal-amal “laisa minal islam, takhayul, bid’ah dan khurafat” bukan gerakan yang baru. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan, Persis yang didirikan oleh KH. A.Hasan dan Al Irsyad yang ditokohi oleh KH Ahmad Syurkati adalah gerakan-gerakan kembali kepada Al Qur’an dan as-sunnah.
Salah satau prinsip Ustad Abdullah Thufail sewaktu mengajar di MTA adalah “Kita boleh berbeda pendapat, tetapi jangan putus silaturahmi”. Jadi alih-alih mencegah jamaah yang akan pergi tahlilan atau yasinan, alih-alih bersikap garang kepada umat Islam yang lain, justru siswa/peserta MTA di mana-mana dihadang, dicegat, diboikot, diusir dari masjid tempat mengaji, dan dipukuli. Hampir tiap binaan MTA dan cabang atau Perwakilan MTA yang abru mengalami serangan semacam itu sejak zaman Ustad Abdullah Thufail hingga zaman Ustad Sukina kini.
Serangan yang paling dahsyat sehingga Kapolda Jateng harus turun tangan terjadi di Blora pada 2003. Karena meninggalkan tradisi yang tidak ada tuntunannya dari Rasul, warga binaan MTA di desa Bangkerep, kecamatan Kunduran, Blora diusir dari masjid dan kampungnya. Mereka ditampung di MTA Pusat di Solo selama dua setengah tahun. Pada 14 September 2003, mereka (berjumlah 58 orang termasuk anak-anak yang lahir di penampungan) diantar pulang oleh pengurus MTA Pusat. Tetapi begitu rombongan masuk desa Bangkerep, orang-orang sekampung keluar mengeroyok. Mobil dilempari batu, ketua binaan MTA dipukuli dan kepala salah seorang siswa binaan dibacok. Rombongan pun kembali ke Solo.
Serangan kepada warga binaan MTA yang masih tinggal di desa Bangkerep semakin keras. Mereka tidak boleh mengambil air dari sumur tetangga, jalan menuju sawah warga MTA dipagari, tanaman jagung dibabati. Ketika Kepolisian berusaha mendamaikanorang-orang kampong hanya menerima siswa/peserta MTA kembali ke desa Bangkerep apabila siswa/peserta MTA kembali mengamalkan tradisi. Tentu saja syarat itu ditolak.
Yang terjadi di Purworejo (seperti yang ditulis Said Agil Siradj di artikelnya) pun bukan warga binaan MTA yang menghadang jamaah yang hendak melakukan tahlilan dan yasinan dengan menyebut-nyebut amalan tersebut sebagai syirik tetapi justru warga binaan MTA yang mendapat intimidasi. Kami telah mengecek hal tersebut ke pengurus pengajian Binaan MTA di Purworejo. Justru salah seorang pengurus  binaan MTA diintimidasi dan seorang ibu diancam akan dibakar rumahnya apabila tetap mengaji di MTA. Menyerang, mengintimidasi atau memaksa orang lain bukan khitah MTA. Justru warga MTA akan ngalah apabila diserang dan berusaha mencari penyelesaian hukum. Itu sudah menjadi standard operating procedure di MTA dalam menghadapi gesekan dengan mayarakat atau ummat Islam yang lain.
Pengajian MTA tertib, siswa/peserta tercatat, sehingga apa yang terjadi dan dilakukan oleh siswa/peserta MTA dapat dicek. Maka, tuduhan bahwa warga  binaan MTA di Purworejo mencegah jamaah pengajian yang hendak melakukan tahllilan dan yasinan itu mnjadi fitnah yang mas’ul di hadapan Allah.
Memang dalam pengajian pada setiap Ahad pagi, yang oleh Radio MTA diberi nama Jihad Pagi, maksudnya “Pengajian Ahad Pagi”. Ustad Sukina menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar tahlilan dan yasinan dengan jawaban bahwa itu tidak ada tuntunannya. Tetapi, bahwa kemudian hal tersebut ditafsirkan sebagai provokatif atau pelecehan sangat berlebihan.
Islam yang Berkebangsaan
MTA menghargai dan menghormati metoda dakwah yang ditempuh oelh para perintis masuknya Islam ke Nusantara, seperti mengubah tradisi local secara perlahan-lahan. Itu adalah ijtihad para perintis tersebut dalam menghadapi agama dan kepercayaan yang sudah berurat  akar di masyarakat waktu itu. Tetapi, kini metode dakwah semacam itu harus dipahami sebaga dakwah yang belum selesai. Umat Islam sekarang harus melanjutkan dakwah menuju Islam yang kafah. Kepercayaan kepada takhayul dan kurafat yang masih tersisa dibersihkan.
Citra MTA sebagai gerakan yang eksklusif dan egois juga citra yang yang jauh panggang dari api. Sebagaimana sudah diterangkan bahwa salah satu prinsip MTA adalah “Boleh Berbeda Pendapat Tetapi Jangan Putus Silaturahmi” MTA bekerjasama dengan siapapun. Kantor MTA di jalan Ranggawarsita, Solo sangat sering digunakan pertemuan Umat Islam dibawah paying MUI Kota Solo. Berbagai tokoh dari berbagai organisasi dan faham sering mengisi pengajian Ahad pagi. Memang kebanyakan mereka adalah tokoh-tokoh dari kalangan reformis/modernis, seperti Pak Amin Rais, Pak Din Syamsuddin, Pak Amidan, Pak Kholil Ridwan dan para pejabat sipil atau militer. Yang terakhir mengisi di pengajian Ahad pagi MTA adalah Dr. Muhammad Syafei Antonio.
Memang belum ada tokoh NU yang mengisi pengajian Jihad Pagi, kecuali KH Drs Zainuddin MZ yang pernah sekali  datang, meski bukan atas nama pengurus NU. Oleh karena itu, melalui tulisan ini kami mengundang Said Aqiel Siradj untuk mengisi pengajian Ahad Pagi yang dihadiri lebih dari enam ribu peserta dan disiarkan melalui radio dan internet secara online.
Oleh YOYOK MUGIYATNO
Sekretaris Umum Majlis Tafsir Al Qur’an Surakarta.
Dimuat di OPINI Koran Jawa Pos (14-04-2011), sebagai jawaban atas OPINI berjudul “Menyikapi Kegarangan Puritanisme” oleh SAID AQIEL SIRADJ di Jawa Pos (05-04-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar